2. Meninggalkan Kebohongan dan Kezaliman
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hakikat puasa adalah meninggalkan kebohongan dan kezaliman.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya). (HR. Bukhari)
Berbohong memang tidak membatalkan puasa, tetapi bisa membatalkan pahala puasa. Orang yang berbohong dan berdusta, hakikatnya ia bukanlah orang yang puasa. Meskipun seharian ia menahan lapar dan dahaga.
Baca Juga: Ini Contoh Kultum Ramadhan Singkat 5 Menit Tentang Sholat Merupakan Tiang Agama Beserta Dalilnya
Apalagi jika kebohongannya berdampak besar. Misalnya sumpah palsu, menipu orang, mencuri, dan korupsi. Semakin besar dampak negatif yang timbul, semakin jauh ia dari hakikat puasa. Maka, meskipun sama-sama berdosa, antara mencuri ayam tetangga dengan korupsi milyaran uang negara tentu besaran dosanya berbeda.
Bukanlah puasa jika seseorang masih suka berbohong, menipu, menzalimi orang lain, menzalimi hak banyak orang dengan korupsi, dan sejenisnya.
3. Membentuk Taqwa
Hakikat puasa kemudian terangkum dalam tujuan utama puasa. Yakni membentuk taqwa. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: