PORTAL PURWOKERTO - Ada 6 Jenderal yang dibunuh PKI pada G30S PKI di Jakarta dan satu orang Kapten.
Mereka yang ditarget PKI dan menjadi korban penculikan serta pembunuhan adalah tokoh yang sangat berpengaruh di militer terutama Angkatan Darat.
Mereka dianggap sebagai musuh PKI diantaranya karena menentang beberapa ide PKI. Termasuk yang paling penting adalah membentuk barisan tani dan buruh.
Partai Komunis Indonesia di bawah pemimpinnya, D.N Aidit telah menyatakan keinginannya untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari barisan buruh dan tani.
Baca Juga: Jadwal Kapan Film G30S PKI Tayang di TV, Cek Jam Berapa dan Dimana Bisa Menonton Film Ini
PKI menginginkan agar angkatan Kelima dipersenjatai seperti layaknya angkatan bersenjata lainnya yaitu Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Kepolisian.
Tujuannya, agar Angkatan Kelima dapat membantu Indonesia yang ketika itu sedang berkonflik dengan Malaysia.
Namun, pihak militer Angkatan Darat tidak menyetujui rencana tersebut. Bahkan menentang untuk mempersenjatai barisan buruh dan tani.
Maklum, meskipun belum dipersenjatai, pernah terjadi beberapa kerusuhan yang terjadi dan melibatkan kaum buruh dan tani.
Baca Juga: Apa Tujuan G30S PKI Sebenarnya? Sejarah Singkat Kelam Pengkhianatan untuk Menyingkirkan Soekarno
Belum lagi adanya ingatan atas pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948 yang juga pernah dialami langsung oleh beberapa jenderal.
Ketulusan PKI dalam mempersenjatai barisan buruh dan tani dalam rangka membantu melawan Malaysia juga diragukan setelah ditemukan adanya penyelundupan senjata dari China untuk PKI.
Berikut biografi singkat jenderal yang dibunuh PKI pada G30S PKI di Jakarta.
1. Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani
Ahmad Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah. Pria yang bertangan dingin dan cenderung kalem ini semasa hidupnya adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Ketika itu pangkatnya adalah Letjen Ahmad Yani, seorang jenderal bintang tiga yang sangat dipercaya oleh Presiden Soekarno.
Yani, panggilan akrabnya, sempat bergabung dengan PETA pada masa awal kemerdekaan. Setelah situasi lebih aman, Yani dikirim belajar di Komando dan Staf Umum College, Fort Leavenworth, Kansas, AS.
Sebagai bagian dari Angkatan Darat, Yani memperlihatkan karir yang cemerlang dengan berhasil menumpas berbagai pemberontakan. Diantaranya:
- Menyita senjata Jepang di Magelang
- Memukul mundur Agresi Militer Belanda di Pingit
- Menumpas DI/TII
- Menumpas pemberontak PRRI di Sumatera Barat
Ahmad Yani merupakan salah satu jenderal yang paling menentang ide PKI untuk mempersenjatai barisan buruh dan tani.
Baca Juga: Kapten Pierre Tendean, Pahlawan Revolusi Termuda yang Penuh Potensi dan Pemberani Korban G30S PKI
Ahmad Yani yang tewas pada usia 43 tahun meninggalkan seorang istri bernama Yayu Rulia Sutowiryo dan 8 orang anak.
Akibat peristiwa G30S PKI yang menewaskannya, kini ia bergelar sebagai Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani.
2. Letjen (Anumerta) R. Suprapto
R. Suprapto alias Raden Suprapto lahir pada 20 Juni 1920 di kota Purwokerto, Jawa Tengah. Pada awal perjuangan, pria yang lembut ini sempat bergabung dengan Panglima Soedirman dalam melawan Agresi Militer Belanda.
Selama hampir 2 tahun Suprapto menjadi ajudan dari Panglima Besar Soedirman sebelum akhirnya diangkat menjadi Kepala Bagian II Markas Komando Jawa yang dipimpin oleh A.H. Nasution. Pangkat terakhirnya sebelum tewas adalah Mayjen R. Suprapto.
Baca Juga: Berapa Kedalaman Lubang Buaya? Sumur Maut Tempat Pembuangan Jasad 7 Pahlawan Revolusi G30S PKI
Suprapto dituduh menjadi salah satu dari Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno. Akibatnya, ia termasuk salah satu yang diculik pasukan Cakrabirawa.
R. Suprapto meninggalkan seorang istri bernama Julie Suparti dan lima orang anak. Mayjen R. Suprapto diangkat menjadi Pahlawan Revolusi dan mendapatkan gelar Letjen (Anumerta) R. Suprapto.
3. Letjen (Anumerta) MT Haryono
Bernama lengkap Mas Tirtodarmo Haryono, putra dari seorang jaksa ini lahir di Surabaya, pada 20 Januari 1924.
Jenderal bintang tiga ini adalah salah satu aset penting dalam perundingan karena menguasai tiga bahasa asing yaitu Belanda, lnggris dan Jerman.
MT Haryono pernah menjadi sekretaris delegasi RI dan Sekretaris Dewan Pertahanan Negara, kemudian menjadi Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata.
Ia kemudian menjadi Atase Militer RI untuk Negeri Belanda pada tahun 1950 dan sebagai Direktur Intendans dan Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat 1964 dengan pangkat Brigjen.
Pemikiran M.T. Haryono kerap berseberangan dengan PKI, terutama dalam hal mempersenjatai barisan buruh dan tani.
MT Haryono tewas meninggalkan seorang istri bernama Mariatni dan tiga orang anak. Kini ia dianugerahi gelar Letjen (Anumerta) MT Haryono.
Baca Juga: Sinopsis G30S PKI, Pembunuhan Terhadap 7 Pahlawan Revolusi yang Mengubah Indonesia
4. Letjen (Anumerta) S. Parman
Siswondo Parman lahir pada 4 Agustus 1918 di Wonosobo, Jawa Tengah sebagai anak keenam dari sebelas bersaudara.
Salah satu kakak S. Parman, Sukirman adalah salah satu orang yang pernah terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun tahun 1948. Namun kedua bersaudara ini berbeda haluan.
Dalam karir militer, S. Parman berperan dalam penumpasan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) sehingga jabatannya naik menjadi Kepala Staf Gubernur di Markas Besar Angkatan Darat.
Pria ini pernah menjadi Atase Militer Indonesia di Inggris dan sempat menjalani pendidikan militer di Amerika serja menjadi ahli intelijen.
Baca Juga: Mengulas Rumah Penyiksaan Pemberontakan G30S PKI yang Jadi Sejarah Kelam di Tahun 1965
Sebelum tewas, S. Parman menjabat sebagai Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat dalam bidang intelijen dan bergelar Mayjen S. Parman.
Pembentukan Angkatan Kelima merupakan salah satu ide yang ditentangnya dari PKI. Akibatnya, S. Parman menjadi salah satu target PKI.
S. Parman hanya meninggalkan seorang istri yang dikenal dengan nama Ny. Sumirahaju. Kakak S. Parman yang pro PKI tewas di Solo pada tahun 1966.
Kini ia dianugerahi gelar Letjen (Anumerta) S. Parman setelah kejadian 30 September 1965.
5. Mayjen (Anumerta) D.I Panjaitan
Bernama lengkap Donald Isaac Panjaitan, perwira ini lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli.
Dalam karir militernya, putra seorang pedagang ini pernah ditugaskan menjadi Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat.
Sekembalinya ke Indonesia D.I. Pandjaitan ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat Brigjen.
D.I. Pandjaitan membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca Juga: Profil Letkol Untung, Sosok yang Diduga Sebagai Dalang Peristiwa G30S PKI 1965
Senjata tersebut ternyata akan digunakan untuk mempersenjatai Angkatan Kelima yang diusulkan PKI untuk barisan buruh dan tani.
Keberadaan D.I Panjaitan yang membongkar kegiatan-kegiatan ilegal PKI tentu mengancam keberadaan dan ide-ide politik PKI lainnya yang tidak sejalan dengan Angkatan Darat.
Tewasnya Brigjen D.I Panjaitan meninggalkan seorang istri bernama Marieke Tambunan dan enam orang putra dan putri.
Atas jasanya, ia dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Revolusi yang kini berpangkat Mayjen (Anumerta) D.I Panjaitan.
Baca Juga: Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Sumur Tua Saksi Bisu Sejarah Kelam G30S PKI 1965 Lalu
6. Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
Mayjen Sutoyo lahir pada 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Mayjend Sutoyo pernah menjadi ajudan dari Jenderal Gatot Subroto.
Semasa karir politiknya, Sutoyo pernah terlibat dalam penumpasan Agresi Militer Belanda II dan juga menangani pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948.
Sebelum meninggal, Sutoyo berperan penting dalam membongkar kasus korupsi yang terjadi di tentara dengan nama Operasi Budhi.
Baca Juga: Sinopsis G30S PKI, Pembunuhan Terhadap 7 Pahlawan Revolusi yang Mengubah Indonesia
Ia bahkan berhasil menyelamatkan milyaran uang negara. Brigjen Sutoyo Siswomiharjo memiliki jabatan Inspektur Kehakiman atau Oditur Jenderal Angkatan Darat saat konflik G30S PKI berlangsung.
Nama Suyoto sempat menjadi kandidat terkuat calon Jaksa Agung RI. Namun, batal terpilih karena diisukan terlibat Dewan Jenderal yang berniat menggulingkan Presiden Soekarno.
Brigjen Sutoyo Siswomiharjo meninggalkan dua orang anak yaitu Letjen TNI Agus Widjojo dan Nani Nurrachman.
Atas jasanya, ia dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Revolusi yang kini berpangkat Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo.
Baca Juga: Profil Letkol Untung, Sosok yang Diduga Sebagai Dalang Peristiwa G30S PKI 1965
7. Kapten Pierre Tendean
Tokoh lain yang tewas pada Gerakan Tiga Puluh September adalah Kapten Pierre Tendean. Pria berusia 26 tahun ini adalah ajudan dari Jenderal A.H. Nasution.
Pierre Andreas Tendean lahir pada tanggal 21 Februari 1939 di Jakarta dari pasangan Dr. Aurelius Lammert Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa dengan Maria Elizabeth Cornet, seorang perempuan Belanda yang berdarah Prancis.
Pierre adalah salah satu prajurit TNI muda yang menjadi bagian operasi Dwikora dalam operasi penyusupan ke Malaysia dari Selat Panjang, Kepulauan Meranti, Riau.
Pierre Tendean dan pasukannya ditempatkan di garis terdepan untuk menyusup ke daratan Malaysia dengan cara menyamar menjadi turis dan sempat kepergok dan dikejar kapal perang milik tentara Inggris.
Baca Juga: Kenapa Disebut Lubang Buaya? Ini Asal Nama Tempat Pembuangan Jasad 7 Pahlawan Revolusi G30S/PKI
Kemampuan unggul Pierre Tendean membuatnya menjadi rebutan 3 jenderal. Hingga akhirnya Pierre menjadi ajudah AH Nasution bergelar Lettu P. A. Tendean.
Pasukan Cakrabirawa yang merupakan pasukan pengawal Presiden Soekarno ini mendatangi satu per satu kediaman para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965.
Dini hari, pasukan Cakrabirawa mendatangi kediaman 7 jenderal. Beberapa jenderal memberikan perlawanan hingga tewas di tempat.
Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjend MT Haryono, dan Brigjend DI Pandjaitan. Sedangkan Letjend R. Suprapto, Mayjend S. Parman, Brigjend Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean dibawa dalam keadaan hidup.
Baca Juga: Nama Nama 7 Jenderal Korban G30S PKI dan Jenderal yang Selamat dari Tragedi Itu adalah
Namun mereka dibawa dengan mata tertutup, tangan dan kaki terikat. Tidak ada seorangpun yang mengetahui akan dibawa kemana.
Para jenderal dibawa ke daerah Pondok Gede, Jakarta Timur, tepatnya ke sebuah kebuh karet yang biasa dijadikan tempat latihan PKI.
Setelah tewas, ketujuh orang tersebut jasadnya dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang kemudian ditutupi oleh pohon pisang untuk menyamarkan.
Setelah pencarian selama empat hari, jasad 7 Pahlawan Revolusi ditemukan di sebuah sumur tua dengan kedalaman kurang lebih 12 meter pada tanggal 4 Oktober 1965.
Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) menemukan tempat tersebut atas jasa Soekiman yang merupakan saksi mata kejadian.
Jenazah 7 Pahlawan Revolusi kemudian dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Jenderal yang terbunuh dalam peristiwa G30S PKI di Jakarta adalah Ahmad Yani, R. Suprapto, MT Haryono, S. Parman, DI Pandjaitan, dan Sutoyo Siswomiharjo.***