"Kalau orang dari kelompok di Deli Serdang melapor, lalu pemerintah ini menilai apakah ini sah atau tidak. Sesuai AD/ART atau tidak, penyelenggaranya siapa, baru kita nilai nanti, nanti pemerintah memutuskan ini sah atau tidak sah, nanti silakan pemerintah akan berpedoman pada aturan-aturan itu," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah sulit untuķ bersikap, apabila terjadi masalah internal dikubu partai politik. Meskipun banyak opini yang menyatakan sah dan tidak sah.
Untuk itu harus ada dokumen di atas meja yang menyatakan sah dan tidaknya, melalui proses hukum.
"Apakah ini akan dilarang atau tidak. Secara opini kita mendengar wah ini tidak sah, ini sah secara opini, tapi secara hukum kan tidak bisa. Kita lalu menyatakan ini sah tidak sah sebelum ada data dokumen di atas meja," katanya.
Mahfud MD mengatakan, jika hal serupa juga yang terjadi pada saat Matori Abdul Jalil mengambil PKB dari Gus Dur pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dimana pada saat itu Presiden Megawati Soekarnoputri tidak bisa melarang, karena ada Undang-Undang yang memperbolehkan orang berkumpul.
"Bu Mega bukan tidak mau. Tetapi, tidak bisa melarang karena ada Undang-Undang yang tidak boleh melarang orang-orang berkumpul. Kecuali, jelas-jelas menyatakan melakukan seperti yang dilarang oleh hukum. Mereka berkumpul sebagai satu kelompok masyarakat sehingga pada waktu itu Bu Mega juga membiarkan Pak Matori memegang PKB, tetapi di pengadilan kalah," ujar Mahfud.
Sama halnya di zaman pemerintahan Presiden SBY, juga tidak melarang adanya dualisme kepengurusan PKB versi Parung (Gus Dur) dan versi Ancol (Cak Imin).