Dahulu, menurut ceritanya, saat ia masih muda, dalam sehari, ia dapat memanjat hingga 40 pohon dan menghasilkan banyak air nira.
"Sama istri saya dibuat gula merah sampai 15 kilo ada. Sisanya dibuat badeg. Tapi sekarang udah ngga kuat. Satu pohon aja udah cukup," kata bapak dua anak ini.
Meski demikian, Pak Rus mengatakan bahwa pohon kelapa yang dipanjatnya bukan miliknya sendiri. Ia menyewa pohon-pohon tersebut pada orang lain.
Baca Juga: Tiga Hari Dicari Nihil, Operasi Pencarian Kasilun yang Hilang di Hutan Pinus Pulosari Dihentikan
"Pohon kelapanya nyewa. Sebulan Rp10 ribu per pohon," jelasnya.
Sekarang ini, rata-rata ia hanya mampu mengumpulkan air nira atau badeg sebanyak 5-7 liter yang kemudian ia tawarkan kepada pembeli di Purwokerto.
"Dari Baturraden setiap hari ke Purwokerto. Sekarang sudah naik motor, dulu sih engga," ujar Pak Rus.
Segelas minuman badeg yang ia tawarkan ini seharga Rp3 ribu. Setiap harinya, sekitar 5-7 liter minuman badeg ia bawa untuk dijual. Kadang minuman yang ia jajakan ini tak habis dan harus dibawa pulang kembali.
Saat masa pandemi Covid-19 melanda Banyumas Raya, hasil yang didapat Pak Rus menurun.