c. Pendapat Imam Khalid ibn Ibrahim al-Shaq'abiy di dalam Mudzakkarah al-Qaul al-Rajih:
Apabila musafir berniat tinggal di suatu perkampungan yang menjadi tujuan perjalanannya selama empat hari atu lebih, tinggal untuk kebutuhan yang diperkirakan selesai kecuali setelah empat hari, maka dalam masalah ini ulama fiqh berkata:
"Ia tidak memperoleh keringanan perjalanan. Ini pendapat ulama' madzhab Hanbaliy, Malikiy dan Syafi'i. Tetapi madzhab Malikiy dan Syafi'iy tidak menghitung dua hari ketika datang dan pergi.
Baca Juga: Doa Sesudah Sahur, JANGAN TERLEWATKAN! Lengkapi Berkah Sahur Menjadi Penuh Makna
d. Pendapat Imam 'Alauddin Mas'ud ibn Ahmad al-Kasaniy di dalam Badai' al-Shanai' Fi Tartib al-Syarai':
Musafir bisa menjadi muqim karena tinggal di suatu tempat. Ia berniat tinggal selama lima belas hari.
2. Pendapat Imam Yahya ibn Syaraf An-Nawawi di Al-Majmu' Syarh alMuhadz-dzab mengenai shalat Jum'at oleh warga yang tinggal sementara:
Apakah shalat Jum'at sah (jika dilaksanakan) orang-orang yang tinggal sementara (muqim) tanpa danya orang yang tinggal menetap sepanjang waktu (mustauthin)? Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
Baca Juga: Doa Setelah Tayamum, Berikut Dilengkapi Dengan Bagaimana Syarat dan Cara Tayamum
Pertama, Abu Ali ibn Abi Hurairah berkata: "Shalat Jum'at sah dengan (hanya) mereka (muqim) karena mereka wajib melaksanakannya, maka penyelenggaraannya sah terdiri dari mereka sebagaimana sahnya terdiri dari orang-orang yang tinggal menetap sepanjang waktu. Kedua, Abu Ishaq berpendapat tidak sah. Hal ini karena Nabi SAW. bersama warga Makkah pergi ke Arafah dan tinggal sementara di sana (muqim), bukan mustauthin. Seandainya shalat Jum'at sah terdiri dari mereka, tentu beliau menyelenggarakannya bersama mereka."